Rabu, 13 April 2011

Asuhan Keperawatan Anak dengan Atresia Ani

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN
ATRESIA ANI (ANUS IMPERFORATA)
A. Definisi
Atresia Ani berasal dari dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata.
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforate dibagi 4 golongan, yaitu :
  1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
  2. Membran anus yang menutup
  3. Anus imperforate dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
  4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum
Atresia Ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe:
1. Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat
2. Terdapatnya suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk lekukan anus)
4. Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah,pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yangmemiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi,dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal contohnya berupa stenosis anus (tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus (anal dimple) yang cukup dalam. Namun,pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi. Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak redah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula -and kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkan pada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rektoperineum. Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital
B. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke empat sampai keenam usia kehamilan.
C. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
  • Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
  • Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
  • Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
  • Berkaitan dengan sindrom down
  • Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Terdapat tiga macam letak
  • Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. letak supralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
  • Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
  • Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius
D. Tanda dan gejala
  • Mekonium tidak keluar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
  • Tinja keluar dari vagina atau uretra
  • Perut menggembung
  • Muntah
  • Tidak bisa buang air besar
  • Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula
  • Pada atresia ani letak rendah mengakibatkan distensi perut, muntah, gangguan cairan elektrolit dan asam basa.
E. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis ialah pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar. pada foto 24 jam kemudian terlihat retensi barium dan gambaran makrokolon pada hirschsprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap rektum dapat digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion parasimpatik dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal pada pemeriksaan histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.
Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.
Pada bayi dengan kelainan tipe satu/kelainan letak rendah baik berupa stenosis atau anus ektopik sering mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium. Pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama beberapa bulan setelah lahir. Megakolon sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian bawah daerah stenosis yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja. Bayi dengan kelainan tipe kedua yang tidak disertai fistula/fistula terlalu kecil untuk dilalui mekonium sering akan mengalami obstruksi usus dalam 48 jam stelah lahir. Didaerah anus seharusnya terentukpenonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap dari kulit disekitarnya, karena mekonium terletak dibalik membran tersebut. Kelainan letak tinggi atau agenesis rectum seharusnya terdapat suatu lekukan yang berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak daripada kulit disekitarnya sehingga pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan lubang fistulla pada dinding posterior vagina/perinium, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria. Fistula rektourinaria biasanya ditandaioleh keluarnya mekonium serta keluarnya udara dari uretra. Diagnosis keempat dapat terlewatkan sampai beberpa hari karena bayi tampak memiliki anus yang normal namun salurran anus pendek dan berakhir buntu. Mnifestasi obstruksi usus terjadi segera setelah bayi lahir karena bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan colok dubur.
F. Komplikasi
Semua pasien yang mempunyai mlformasi anorektal dengan kortmobiditas yang tidak jelas mengancam hidup akan bertahan. Pada lesi letak tinggi, banyak anak mempunyai masalah pengontrolan fungsi usus dan juga paling banyak menjadi konstipasi. Pada lesi letak rendah anak pada umumnya mempunyai control usus yang baik, tetpai masih dapat menjadi konstipasi. Komplikasi operasi yang buruk berkesempatan menjadi kontinensia primer, walaupun akibat ini sulut diukur. Reoperasi penting untuk mengurangi terjadionya kontinensia.
G. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penanganan secara preventif antara lain:
  • Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
  • Mmeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
  • Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan Pengobatan : :
  • melakukan pemeriksaan colok dubur
  • melakukan pemeriksaan radiologik pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik sellama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
  • melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
  • pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau speculum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
    dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
  • melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
  • pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
  • melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan) pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
  • penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through" manfaat kolostomi adalah antara lain:
a. mengatasi obstruksi usus
b. memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
c. memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
H. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
- Lakukan pengajian fisik
- Kaji pemahaman anak tentang rencana pengobatan dan apa yang akan terjadi pada pasca operasi
- Kaji adanya bukti infeksi pada anak
- Tinjau ulang hasil tes lab untuk temuan abnormal
Perawatan Pascaoperasi
Diagnosa 1 : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur bedah , anestesi
Tujuan :
1. pasien menunjukkan tanda-tanda penyembuhan luka tanpa bukti infeksi luka
2. pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi
Kriteria : 1. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi luka
2. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi
Intervensi :
· Gunakan teknik mencuci tangan yang tepat dengan kewaspadaan universal lain, terutama bila terdapat drainase luka
· Lakukan perawatan luka dengan hati-hati untuk meminimalkan resiko infeksi
Jaga agar luka bersih dan balutan utuh
Pasang balutan yang meningkatkan kelembaban penyembuhan luka (mis,balutan hidrokoloid)
  • Ganti balutan bila diindikasikan, jika kotor, buang balutan yang kotor dengan hati-hati
  • Lakukan perawatan luka khusus sesuai dengan ketentuan
  • Bersihkan dengan preparat yang ditentukan
  • Berikan larutan antimicrobial dan/atau salep sesuai instruksi untuk mencegah infeksi
  • Laporkan adanya tampilan tak umum atau drainase untuk deteksi dini adanya infeksi
  • Ambulansi sesuai ketentuan untuk menurunkan komplikasi yang berhubungan dengan imobilitas
Diagnosa 2 : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah
Tujuan : Pasien tidak mengalami nyeri atau penurunan nyeri sampai tingkat yang dapat diterima anak
Kriteria : Anak beristirahat tenang dan menunjukkan bukti-bukti nyeri yang minimal atau tidak ada
Intervensi :
· Jangan menunggu sampai anak mengalami nyeri hebat untuk intervensi untuk mencegah terjadinya nyeri
· Hindari mempalpasi area operasi kecuali jika diperlukan
· Pasang selang rectal jika diindikasikan untuk menghilangkan gas
· Lakukan aktivitas dan prosedur keperawatan (mis:mengganti balutan, napas dalam, ambulansi) setelah analgesia
· Berikan analgesic sesuai ketentuan untuk nyeri
Diagnosa 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah
Tujuan : Pasien mendapat hidrasi yang adekuat
Kriteria : Anak tidak menunjukkan dehidrasi
Intervensi :
· Pantau infuse IV pada kecepatan yang ditentukan untuk memastikan hidrasi yang adekuat
· Berikan cairan segera setelah diinstruksikan atau ditoleransi anak
· Dorong anak untuk minum
Diagnosa 4 : Resiko tinggi Cedera berhubungan dengan ketidakmampuan mengevakuasi rectum,pembedahan
Tujuan : Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi da pasca operasi
Kriteria : Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi dan pasca operasi
NO
Intervensi
rasional
1
2
3
Hindari mengukur suhu rectal pada masa praoperasi dan pasca operasi
Pertahankan penghisapan nasogatrik bila diimplementasikan
Observasi pola defekasi
Beri posisi miring pada bayi dengan panggul ditinggikan atau telentang dengan kaki disokong pada sudut 900
1. Mencegah trauma rectal
2. untuk dekompresi abdomen
3. mendeteksi pola normal atau abnormalitas
4. mencegah tekanan pada jahitan perineal
Diagnosa 5 : Nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Hasil : Pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat
NO
Intervensi
Rasional
1
2
Pantau cairan intravena sesuai kebutuhan
Beri formula atau diet sesuai
1. mempertahankan hidrasi pada saat puasa




 


iAtresia Duodenum
Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia duodenum.
Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan
rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi).
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
Epidemiologi
Insiden atresia duodenum di Amerika Serikat adalah 1 per 6000 kelahiran. Obstruksi duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi duodenal kongenital (atresia duodenal 40-60%, duodenal web 35-45%, pankreas anular 10-30%, stenosis duodenum 7-20%). Insiden obstruksi kongenital di Finlandia (intrinsik, ekstrinsik, dan campuran) adalah 1 per 3400 kelahiran hidup. Tidak terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini.
Mortalitas dan Morbiditas
Jika atresia duodenum atau stenosis duodenum signifikan tidak ditangani, kondisinya akan segera menjadi fatal sebagai akibat gangguan cairan dan elektrolit. Sekitar setengah dari neonatus yang menderita atresia atau stenosis duodenum lahir prematur. Hidramnion terjadi pada sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau stenosis duodenum paling sering dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien obstruksi duodenum menderita trisomi 21.
Manifestasi Penyakit
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau duodenal web dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak atau remaja.
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.
Gejala atresia duodenum:
• Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas
• Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu (biliosa)
• Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam
• Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil
• Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada usus distal mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk atresia dan stenosis duodenum pada neonatus mencakup:
• Atresia esofagus
• Malrotasi dengan volvulus midgut
• Stenosis pilorus
• Pankreas anular
• Vena portal preduodenal
• Atresia usus
• Duplikasi duodenal
• Obstruksi benda asing
• Penyakit Hirschsprung
• Refluks gastroesofageal
Penanganan
Tuba orogastrik dipasang untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit dikoreksi dengan memberikan cairan dan elektrolit melalui infus intravena. Lakukan juga evaluasi anomali kongenital lainnya. Masalah terkait (misalnya sindrom Down) juga harus ditangani.
Pembedahan untuk mengoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun tidak darurat. Pendekatan bedah tergantung pada sifat abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasif.
Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.